Amerika Serikat (AS) dilaporkan meminta bantuan China untuk menggunakan pengaruhnya terhadap Rusia dan Korea Utara (Korut) guna mencegah eskalasi lanjutan. Hal ini terjadi saat hubungan antara Washington dengan Moskow dan Pyongyang terus memanas pascaperang Ukraina dan ketegangan Semenanjung Korea.
Mengutip Associated Press, Jumat (1/11/2024), dalam pertemuan langka awal minggu ini, tiga diplomat tinggi AS bertemu dengan Duta Besar China untuk Washington untuk meminta Beijing membatasi kerja sama dengan Korut untuk menekan negara tertutup itu.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan pada hari Kamis bahwa kedua belah pihak telah melakukan percakapan yang kuat minggu ini. Ia menyebut China mengetahui harapan AS bahwa ‘mereka akan menggunakan pengaruh yang mereka miliki untuk bekerja guna mengekang kegiatan ini’.
“Tetapi saya pikir ini adalah sinyal permintaan yang datang bukan hanya dari kami, tetapi dari negara-negara di seluruh dunia,” katanya pada konferensi pers di Washington bersama Menteri Pertahanan Lloyd Austin dan rekan-rekan mereka dari Korea Selatan (Korsel).
Ketika ditanya tentang pertemuan antara diplomat AS dan China ini, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, mengatakan dalam sebuah pengarahan di Beijing bahwa ia tidak memiliki informasi untuk diberikan’.
“Sikap China terhadap Ukraina dan Semenanjung Korea telah konsisten. China telah menyerukan gencatan senjata dan mendesak perundingan damai untuk mengakhiri perang di Ukraina dan telah lama menganjurkan Semenanjung Korea yang damai dan stabil,” tuturnya.
Laporan ini sendiri muncul saat hubungan militer antara Korut dan Rusia terus menguat. Pyongyang bahkan dilaporkan telah mengirim pasukan ke Ukraina untuk membantu Negeri Beruang Putih itu dalam perangnya dengan Kyiv.
Di sisi lain, hubungan antara Korut dan Korsel masih terus memanas. Terbaru, Pyongyang kembali melakukan uji rudal balistik, yang ditanggapi Seoul sebagai sinyal ancaman peperangan.
China sendiri telah menjalin kemitraan ‘tanpa batas’ dengan Moskow dan menjadi sekutu dekat Korut. Meski begitu, para ahli mengatakan Beijing mungkin tidak menyetujui kemitraan militer yang lebih erat antara Rusia dan Korut karena menganggapnya sebagai hal yang tidak stabil di kawasan tersebut.
“Kemitraan Rusia-Korut bertentangan dengan tujuan Beijing untuk Semenanjung Korea yang damai,” kata Shi Yinhong, seorang pakar hubungan internasional di Universitas Renmin China.
“Beijing menyadari kompleksitas dan bahaya situasi ini. Fakta bahwa China belum mengatakan apapun tentang perjanjian aliansi militer antara Korut dan Rusia menunjukkan bahwa China sangat tidak setuju dengannya.”
Peneliti senior untuk Initiative for US-China Dialogue tentang isu-isu global di Universitas Georgetown, Dennis Wilder, menyebut Beijing harus menemukan keseimbangan antara mendukung Moskow dan tidak membuat marah Barat.
“Xi Jinping (Presiden China) tidak dapat melihat Putin (Presiden Rusia) gagal. Pada saat yang sama, Xi tidak dapat membuat marah orang Eropa dan Amerika ketika ekonomi negaranya sedang berjuang,” tuturnya.