Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyoroti bahwa penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan pengguna BBM subsidi saat ini tidak seluruhnya berasal dari kelompok miskin.
Oleh sebab itu, apabila penyaluran subsidi BBM akan diubah menjadi BLT, maka cakupan penerima bantuan ini harus diperluas untuk mencakup kelompok rentan miskin serta aspiring middle class juga. Sebab saat ini, jumlah kelompok tersebut mencapai 137,5 juta orang atau hampir 50% dari populasi Indonesia.
“Jika mekanisme nya mau diubah maka BLT perlu menyasar masyarakat rentan miskin dan aspiring middle class juga. Aspiring middle class atau orang yang sedang menuju kelas menengah mencapai 137,5 juta orang atau hampir 50% populasi,” kata Bhima kepada CNBC Indonesia, Senin (30/9/2024).
Bhima mengingatkan bahwa kelompok kelas menengah rentan ini dapat jatuh miskin jika subsidi BBM dihapuskan, karena mereka selama ini mengandalkan harga subsidi untuk menjaga pengeluaran tetap stabil. Sementara itu, BLT hanya menyasar masyarakat miskin, sehingga kelompok kelas menengah rentan beresiko terdampak lebih besar.
“Khawatir jika coverage BLT sebagai kompensasi subsidi bbm terbatas maka akan terjadi pelemahan daya beli yang cukup signifikan. Konsumsi rumah tangga bisa tumbuh dibawah 4% year on year tahun depan,” katanya.
Sebelumnya, Pemerintahan di bawah Prabowo Subianto berencana mengubah skema subsidi energi seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), Liquefied Petroleum Gas (LPG), dan listrik, dari yang selama ini berbasis komoditas menjadi berbasis individu atau langsung ke orang yang berhak menerima subsidi. Alasan perubahan ini adalah agar penyaluran subsidi menjadi lebih tepat sasaran.
Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Burhanuddin Abdullah menilai subsidi energi lebih baik diberikan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat yang membutuhkan, sehingga lebih tepat sasaran.
“Kita ingin dengan data diperbaiki, disempurnakan supaya mereka (masyarakat miskin) diberi saja transfer tunai langsung, bukan pada komoditinya, tapi kepada keluarganya yang berhak terima,” ungkap Burhanuddin dalam acara UOB Indonesia Economic Outlook 2025, dikutip Jumat (27/9/2024).
Ia mengungkapkan bahwa subsidi energi sebesar Rp 540 triliun yang selama ini diberikan masih belum sesuai dengan realitas di lapangan. Misalnya, terjadi di Kota Solo, Jawa Tengah.
Dalam tinjauannya ke lapangan di daerah Solo, ia menemukan bahwa subsidi listrik yang seharusnya membantu masyarakat ekonomi bawah, hanya mampu menopang kebutuhan listrik yang sangat minim, seperti hanya menyalakan satu lampu per rumah, dengan biaya bulanan sekitar Rp 30 ribu. “Nah minggu lalu saya pergi ke Solo, saya bertemu dengan pelanggan PLN yang paling bawah, mereka bayar bulanan Rp 30 ribu, lampunya hanya satu,” ujarnya.
Selain itu, Burhanuddin juga menilai bahwa masyarakat miskin tidak mendapatkan manfaat signifikan dari subsidi BBM. Hal ini karena mereka umumnya tidak memiliki kendaraan, sehingga subsidi BBM tidak relevan bagi mereka.