Eks Presiden Tetangga RI Ngaku Punya Regu Kematian buat Bunuh Penjahat

CORRECTS CITY TO DAVAO INSTEAD OF MANILA - In this photo provided by the Malacanang Presidential Photographers Division, Philippine President Rodrigo Duterte gestures as he meets members of the Inter-Agency Task Force on the Emerging Infectious Diseases in Davao, Philippines, Monday, June 21, 2021. The Philippine president has threatened to order the arrest of Filipinos who refuse COVID-19 vaccination and told them to leave the country for hard-hit countries like India and the United States if they would not cooperate with massive efforts to end the pandemic. (Simeon Celi/Malacanang Presidential Photographers Division via AP)
Foto: AP/Simeon Celi

Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengungkapkan dalam sidang Senat pada Senin bahwa dirinya pernah membentuk sebuah “regu kematian” beranggotakan tujuh anggota gangster untuk menindak para penjahat ketika menjabat sebagai wali kota di Davao.

Pernyataan ini disampaikan saat ia menghadiri penyelidikan publik terkait dugaan pembunuhan ekstrajudisial dalam kampanye pemberantasan narkoba yang ia perintahkan selama masa kepresidenannya.

Namun, Duterte membantah pernyataan bahwa ia pernah memberi izin kepada polisi untuk melakukan pembunuhan terhadap ribuan tersangka selama kampanye anti-narkoba, yang kini tengah diinvestigasi oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sebagai kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Saya punya death squad beranggotakan tujuh orang, tapi mereka bukan polisi, mereka juga gangster,” ungkap Duterte dalam kesaksian yang disiarkan langsung, dikutip Associated Press, Selasa (29/10/2024).

“Saya minta seorang gangster untuk membunuh seseorang,” tambahnya, “Jika kamu tidak membunuh orang itu, saya akan membunuhmu sekarang.”

Ketua sidang Senat, Senator Aquilino Pimentel III, dan Senator Risa Hontiveros meminta Duterte untuk memberikan rincian lebih lanjut, namun Duterte memilih untuk menjelaskan lebih lanjut pada sidang berikutnya.

Duterte, yang sering mengumpat selama sidang, juga menyatakan kesediaannya untuk bertanggung jawab penuh atas pembunuhan yang terjadi selama menjabat sebagai presiden dari 2016 hingga 2022. Namun, ia menegaskan bahwa ia tidak pernah menginstruksikan para kepala polisi nasionalnya untuk melakukan pembunuhan ekstrajudisial.

Kontroversi dan Tanggapan Kritikus

Pengakuan Duterte menimbulkan sorotan terhadap kebijakan kerasnya di Davao yang, menurut mantan Senator Leila de Lima, menghasilkan bukti dan saksi yang kuat namun takut bersuara selama Duterte berkuasa.

De Lima, salah satu kritikus Duterte yang paling vokal, ditahan selama enam tahun atas tuduhan narkoba yang ia klaim sebagai upaya untuk menghentikan penyelidikan Senatnya terhadap pembunuhan ekstrajudisial di Davao.

“Pria ini, mantan Wali Kota Davao dan mantan Presiden Filipina, telah lama lolos dari keadilan dan pertanggungjawaban,” ujar de Lima. “Setelah bertahun-tahun, kita belum membuatnya bertanggung jawab,” tambahnya.

Arturo Lascanas, mantan perwira polisi yang pernah bertugas di unit penanganan kejahatan berat di Davao di bawah Duterte, memperkirakan hingga 10.000 tersangka mungkin telah dibunuh di Davao atas perintah Duterte dan rekan-rekannya, termasuk dirinya sendiri.

Lascanas, yang saat ini bersembunyi di luar negeri, mengatakan bahwa ia telah memberikan kesaksian dan bukti lainnya kepada ICC.

Pembelaan Duterte

Meski investigasi ICC masih berjalan, tidak ada tuntutan pidana yang diajukan terhadap Duterte di pengadilan Filipina.

“Saya bingung mengapa Departemen Kehakiman belum mengajukan kasus apa pun,” kata Duterte sambil berseloroh bahwa selama ini ia telah “membunuh orang-orang” namun tetap bebas dari tuntutan.

Melalui sidang ini, Duterte tetap menunjukkan sikap kerasnya terhadap pelaku kriminal dan bandar narkoba.

“Jika diberi kesempatan lagi, saya akan membersihkan semuanya,” ujarnya, menambahkan bahwa kriminalitas telah bangkit kembali setelah ia meninggalkan jabatan kepresidenan.

Sosok Duterte yang dikenal dengan gaya kepemimpinan kontroversial dan sering mengkritik keras media, gereja Katolik, serta oposisi politik membuatnya dianggap sebagai “bencana hak asasi manusia” oleh para aktivis.

KAS138

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*