Kementerian Kesehatan Rwanda melaporkan 26 kasus penyakit Marburg dan delapan kematian sejak awal epidemi, Minggu (29/9/2024) waktu setempat. Apa saja gejalanya?
Mengutip unggahan melalui akun X resmi (@RwandaHealth), Kementerian Kesehatan Rwanda telah mencatat total 26 kasus terkonfirmasi virus Marburg, 18 orang dalam isolasi dan perawatan, serta delapan meninggal dunia di negaranya. Dalam data yang sama, Kemenkes Rwanda menegaskan bahwa penelusuran kontak erat dan pemeriksaan masih terus dilakukan.
Menurut Kemenkes Rwanda, gejala umum yang dialami oleh para pasien adalah demam tinggi, sakit kepala parah, nyeri otot, muntah, dan diare. Sebagai imbauan, masyarakat diminta untuk mengurangi kontak erat dengan orang bergejala dan meningkatkan kebersihan.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Rwanda, Sabin Nsanzimana mengatakan bahwa kasus Marburg didominasi oleh petugas kesehatan di instalasi rawat intensif (ICU).
“Mayoritas kasus dan kematian terjadi di kalangan petugas kesehatan, terutama di instalasi rawat intensif,” kata Nsanzimana, dikutip dari Reuters, Senin (30/9/2024).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit virus Marburg tergolong sangat ganas dan mampu menyebabkan demam berdarah dengan rasio kematian hingga 88 persen. Penyakit yang masih belum ditemukan vaksinnya ini masih dalam famili serupa dengan virus penyebab Ebola.
WHO menegaskan, penyakit yang disebabkan oleh virus Marburg dapat diawali dengan gejala mendadak, seperti demam tinggi, sakit kepala parah, dan malaise atau lelah dan tidak enak badan parah.
“Banyak pasien mengalami gejala hemoragik parah dalam waktu tujuh hari,” tulis WHO melalui keterangan resmi.
“Virus ini ditularkan dari kelelawar buah ke manusia dan menyebar di antara manusia melalui kontak langsung dengan cairan tubuh orang yang terinfeksi, permukaan, dan material,” lanjutnya.
Sebelumnya, Tanzania juga sempat melaporkan kasus Marburg pada 2023 lalu. Sementara itu, tiga orang di Uganda dilaporkan meninggal dunia akibat Marburg pada 2017 silam.