Sektor saham ritel jadi sorotan saat sinyal merah untuk ekonomi Indonesia menyala, tanda mulai tidak baik-baik saja. Beragam indikator menunjukkan bahwa kantong masyarakat mulai mengempis, daya beli semakin turun.
Fenomena degradasi daya beli masyarakat Indonesia akan mengancam kinerja emiten-emiten ritel. Lantas emiten apa yang akan kena dampaknya duluan? Apakah tetap ada peluang di sektor ini?
Daya Beli Masyarakat RI Siaga Satu
Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebut daya beli masyarakat kelas menengah menurun. Hal ini terlihat dari aktivitas jual beli di pusat perbelanjaan yang cenderung sepi.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Isy Karim, mengaku kerap mendapat keluhan dari pedagang di Pasar Tanah Abang dan Mangga Dua, terkait sepinya pembeli di pusat-pusat perbelanjaan tersebut.
“Di samping angka BPS (yang menunjukkan konsumsi rumah tangga turun), juga real di pasar sudah kelihatan adanya (penurunan daya beli). Setiap kami melakukan survei ke pasar, bukan ritel ya, tradisional, tapi lebih ke pasar lah, seperti Tanah Abang dan Mangga Dua. Keluhan yang disampaikan pedagang memang agak lumayan turun. Jadi itu merupakan indikator,” kata Isy Karim saat ditemui wartawan di PIK Avenue, Jakarta, Kamis (8/8/2024).
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga dalam 10 tahun hanya 3,89%. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata historis sebelumnya di angka 5%.
Hantaman demi hantaman kenaikan harga dan energi sepanjang 2015-2022 memiliki andil atas pelemahan daya beli. Padahal konsumsi rumah tangga memegang porsi 54-56% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Daya beli masyarakat terdegradasi karena faktor harga kebutuhan pokok, makanan, yang harganya semakin mahal. Di sisi lain tingkat pertumbuhan gaji semakin melambat sehingga membuat gap antara pertumbuhan harga pangan dan gaji semakin menyempit.
Hal ini berdampak kepada distribusi uang masyarakat yang lebih banyak untuk pemenuhan kebutuhan pokok terlebih dahulu, yakni makanan, sehingga mengurangi porsi belanja. Hal ini terbukti dari penjualan kendaraan yang seret serta fenomena orang ke mall tanpa belanja.
Berdasarkan data Mandiri Spending Index, konsumsi masyarakat di supermarket terus meningkat. Supermarket sendiri dipilih untuk belanja kebutuhan sehari hari.
Namun, menariknya pembelian elektronik juga melesat di tengah kondisi ekonomi yang sulit atau gonjang-ganjing.
Berdasarkan kelasnya, tingkat daya beli kelas menengah dan bawah masih terjadi fenomena makan tabungan. Terlihat dari tingkat saving index di bawah level 100. Sementara kelompok atas mulai stabil.
Foto: Mandiri Spending Index Belanja per Golongan |
Ritel Fashion: RALS & LPPF Menjerit, MAPI Tetap Melejit
Emiten department store seperti PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) dan PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) masih belum bisa bangkit dari kondisi sebelum pandemi.
Sebagai catatan RALS dan LPPF jika dilihat dari harga jual produk dan lokasi toko menyasar kelas menengah dan bawah.
Pandemi yang terjadi pada 2020 memukul kinerja keduanya dan bahkan belum bisa bangkit hingga saat ini.
Daya beli masyarakat di golongan menengah dan bawah yang semakin terjepit menciptakan kebiasaan baru untuk membeli pakaian secara online yang lebih murah dan banyak promo serta diskon. Kebiasaan ini sangat cocok memang untuk kaum mendang-mending.
Belum lagi gempuran baju-baju impor baik itu baru maupun thrift, baju bekas pakai dengan brand ternama juga ikut menggerus pasar RALS dan LPPF.
Nasib berbeda dialami oleh PT Mitra Adi Perkasa (MAPI) yang menyasar kalangan atas yang tetap bertahan. Hal ini ditunjukkan dari progresi pendapatan maupun laba yang terus meningkat bahkan jauh melebihi sebelum pandemi.
Penyebabnya adalah ketahanan daya beli masyarakat kelas atas yang konsisten membuat MAPI mampu memiliki ceruk pasar sendiri.
Mengenai proyeksi, keadaan saat ini tentu saja membuat MAPI di atas angin dibandingkan dengan RALS dan LPPF. Sehingga memiliki potensi yang lebih menarik.
Namun, MAPI juga memiliki risiko dari aksi boikot yang bisa berpengaruh terhadap penjualan segmen food and beverages.
Tren Masyarakat RI Lebih Suka Beli Barang Elektronik Ketimbang Makan Untungkan ERAA & ACES
Berdasarkan data Mandiri Spending Index, belanja agregat barang elektronik tumbuh signifikan. Sepanjang tahun (year to date) 2024 tumbuh 80,9% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara pada periode Juni 2024 tumbuh 133% dibandingkan periode yang sama sebelumnya.
Foto: Mandiri Spending Index Belanja Elektronik |
Berdasarkan tren pada tahun-tahun sebelumnya pembelian elektronik, selain lebaran akan meningkat di kuartal keempat sampai puncaknya pada periode natal dan tahun baru (nataru).
Selain itu dari data MSI juga menunjukkan bahwa tren pembelian elektronik telah meningkat pesat usai Covid, selaras dengan pertumbuhan pendapatan ERAA dan ACES.
Hal ini akan menguntungkan PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA) dan PT Aspirasi Hidup Indonesia (ACES) di kuartal empat dan bisa menambah pendapatan.
Faktor mudahnya pinjaman saat ini dengan hadirnya pinjaman online jadi salah satu pendorong lancarnya pembelian kebutuhan elektronik.
Konsensus Target Harga Saham