Peringatan gempa besar (megaquake) Jepang hingga kini belum dilepas oleh Badan Meteorologi Jepang (Japan Japan Meteorological Agency/JMA). Adapun peringatan ini dikeluarkan setelah gempa dengan kekuatan 7,1 Skala Richter (SR) menggetarkan Laut Hyūganada di Prefektur Miyazaki, Pulau Kyushu.
Peringatan ‘megaquake’ tersebut membuat adanya lonjakan permintaan perlengkapan bencana dan kebutuhan sehari-hari masyarakat di Jepang, alias adanya aksi panic buying di Jepang.
Melansir AFP, pihak berwenang di Jepang mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan panic buying atau menimbun barang lantaran adanya kemungkinan ‘megaquake’ tersebut.
Sebelumnya, peringatan ‘megaquake’ dikeluarkan mengingat risikonya yang cukup besar karena menyangkut “zona subduksi” Palung Nankai di antara dua lempeng tektonik di Samudra Pasifik, tempat gempa bumi dahsyat pernah terjadi di masa lalu.
Daerah itu sendiri telah menjadi lokasi gempa bumi dahsyat berkekuatan 8-9 SR setiap satu atau dua abad, dengan pemerintah pusat sebelumnya memperkirakan gempa besar berikutnya dapat terjadi dalam 30 tahun ke depan dengan probabilitas sekitar 70%.
Namun, para ahli menekankan risikonya, meskipun tinggi, masih rendah, dan kementerian pertanian dan perikanan mendesak masyarakat untuk menahan diri dari menimbun barang secara berlebihan.
Bedanya Megaquake dan Megathrust
Lalu apa bedanya istilah ‘megaquake’ dengan ‘megathrust’? Sejatinya, tidak ada perbedaan alias definisinya sama antara dua istilah tersebut.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), megaquake atau megathrust adalah bagian dangkal suatu lajur pada zona subduksi yang mempunyai sudut tukik yang landai. Gempa bumi pada lajur atau zona megathrust disebut juga gempa bumi interplate.
Sementara, zona subduksi adalah zona kejadian gempa bumi yang terjadi di sekitar pertemuan antar lempeng. Sumber zona penunjaman lempeng kerak bumi ini dapat dibagi menjadi dua model, yaitu pada lajur megathrust (gempa bumi interplate), dan pada lajur benioff (gempa intraplate).
Adapun secara umum zona sumber kejadian gempa bumi di Indonesia berdasarkan mekanisme fisik dapat dibagi menjadi tiga, yakni zona subduksi (zona penunjaman lempeng), zona transform, dan zona sumber-sumber sesar kerak bumi dangkal (shallow crustal fault).
Zona megathrust adalah istilah untuk menyebut jalur subduksi lempeng bumi yang sangat panjang, tapi relatif dangkal. Di sini, ada kata ‘mega’ berarti ‘besar’. Kata ‘thrust’ berarti ‘dorongan’. Lempeng bumi digambarkan menumpuk, lempeng di bawah mendorong lempeng di atasnya.
Zona ini sebenarnya sekadar istilah untuk menyebutkan sumber gempa tumbukan lempeng di kedalaman dangkal. Dalam hal ini, lempeng samudra yang menunjam ke bawah lempeng benua membentuk medan tegangan (stress) pada bidang kontak antar lempeng yang kemudian dapat bergeser secara tiba-tiba memicu gempa.
Jika terjadi gempa, bagian lempeng benua yang berada di atas lempeng samudra bergerak terdorong naik (thrusting).
Lokasi megathrust bisa menjadi sumber gempa bila lempeng-lempeng bumi itu bergerak. Gempa dalam skala besar di laut kemudian memicu tsunami.
Di Jepang, Palung Nankai berpotensi menjadi zona megathrust atau megaquake di masa depan, karena dalam sejarahnya, palung ini pernah bergerak dan menyebabkan gempa yang cukup besar.
Palung Nankai sendiri berada di lepas pantai Pasifik barat daya dan membentang sejauh kurang lebih 900 km (600 mil), tempat Lempeng Laut Filipina menunjam di bawah Lempeng Eurasia dan ketegangan tektonik yang terakumulasi dapat mengakibatkan gempa besar kira-kira sekali dalam kurun waktu 100 hingga 150 tahun.
Pemerintah Jepang sebelumnya telah meramalkan peluang sebesar 70-80% terjadinya gempa bumi berkekuatan 8 hingga 9 skala Richter di sepanjang Palung dalam 30 tahun ke depan.
Menurut Survei Geologi Amerika Serikat (AS), besarnya gempa bumi terkait dengan panjang patahan tempat terjadinya gempa. Gempa bumi terbesar yang pernah tercatat adalah berkekuatan 9,5 skala Richter pada tanggal 22 Mei 1960 di Chile pada patahan yang panjangnya hampir 1.600 km (1.000 mil).
Jika gempa besar terjadi di sekitar palung ini, maka dapat mengakibatkan getaran terukur maksimum di wilayah dari pusat Shizuoka, sekitar 150 km (93 mil) di selatan ibu kota Tokyo, hingga Miyazaki di barat daya.
Gempa besar ini juga disertai gelombang tsunami setinggi 30 meter, yang dapat mencapai pantai Pasifik Jepang dalam beberapa menit setelah gempa, tergantung pada episentrum dan situasi pasang surut.
Terakhir kali gempa besar melanda sekitar Palung Nankai terjadi pada tahun 1946, ketika gempa berkekuatan 8 SR dan gelombang tsunami setinggi 6,9 meter menewaskan 1.330 orang.
Mengapa Jepang Seringkali Dilanda Gempa?
Di tahun ini saja, Jepang sudah dua kali dilanda gempa yang cukup besar dan juga sifatnya sangat merusak. Jepang memang dikenal sebagai negara yang sering diguncang gempa bumi. Mengutip dari situs United States Geological Survey (USGS), di Jepang sering terjadi gempa karena Jepang berada di wilayah seismik yang sangat aktif dan memiliki jaringan seismik terpadat di dunia.
Jepang terletak di sepanjang Pacific Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik yang merupakan wilayah cincin dengan gempa paling aktif di dunia. Cincin Api Pasifik tersebut memiliki panjang 40 ribu km yang didiami sekitar 450 gunung berapi.
Cincin Api Pasifik adalah gugusan gunung berapi yang terletak di Samudera Pasifik. Beberapa negara yang terletak di kawasan tersebut antara lain Jepang, Indonesia, Selandia Baru, Filipina, hingga beberapa wilayah Amerika.
Terletak di Ring of Fire menjadikan wilayah Jepang didominasi oleh pegunungan. Sekitar tiga perempat dari tanah nasional adalah pegunungan. Jepang memiliki sekitar 200 gunung berapi, di mana sekitar 60 di antaranya aktif. Akibatnya, gempa bumi dan letusan gunung berapi sering terjadi.
Jepang juga memiliki potensi gempa bumi dan bencana yang begitu besar karena negara tersebut berada di atas empat lempengan besar kerak bumi, yang disebut lempeng tektonik. Lempeng-lempeng ini saling bertabrakan dan memicu gempa bumi mematikan. Kira-kira 90% dari semua gempa bumi di dunia dan 80% yang terbesar terjadi di sepanjang Ring of Fire
Setidaknya dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, sudah ada beberapa kali Jepang dilanda gempa yang cukup besar, di mana gempa yang menjadi paling kelam terjadi di Tohoku pada 2011 lalu.
Gempa berkekuatan 9,1 SR ini menelan korban jiwa cukup banyak sepanjang sejarah Jepang modern yakni hingga 19.786 dan hampir meluluhlantahkan seluruh pesisir timur Jepang dari Fukushima hingga Iwate.
Berikut daftar gempa di Jepang yang kekuatannya berada di atas 7 SR dalam 30 tahun terakhir.
Megathrust Jepang Bisa Landa Indonesia?
Gempa besar Nankai di Jepang Selatan pada 8 Agustus lalu ternyata sudah diprediksi oleh BMKG. Hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Gempa bumi dan Tsunami BMKG Daryono.
“Hasil pemodelan tsunami oleh BMKG menunjukkan adanya status ancaman ‘waspada’ dengan tinggi tsunami kurang dari setengah meter dan akhirnya terkonfirmasi, memang tsunami terjadi di Pantai Miyazaki Jepang dengan ketinggian 31 cm dan tidak merusak,” kata Daryono, dikutip dari rilis yang diterima CNBC Indonesia, Minggu (11/8/2024).
Daryono mengatakan kekhawatiran ilmuwan Jepang terhadap Megathrust Nankai saat ini sama persis yang dirasakan dan dialami oleh ilmuwan Indonesia, khususnya terhadap Seismic Gap Megathrust Selat Sunda (M8,7) dan Megathrust Mentawai-Suberut (M8,9).
“Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata tinggal menunggu waktu karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar,” ungkapnya.
Namun demikian masyarakat di Indonesia tidak perlu khawatir karena apa yang terjadi di Jepang dapat dipantau secara real time oleh BMKG.
“Tak perlu khawatir karena kami dapat analisis dengan cepat termasuk memodelkan tsunami yang bakal terjadi dan dampaknya menggunakan system InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System), sehingga BMKG akan segera menyebarluaskan informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami di seluruh wilayah Indonesia, khususnya wilayah Indonesia bagian utara,” ujar Daryono.
Sebagai langkah antisipasi dan mitigasi, BMKG sudah menyiapkan system monitoring, prosesing dan diseminasi informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami yang semakin cepat dan akurat.
Sejauh ini BMKG telah memberikan edukasi, pelatihan mitigasi, drill, evakuasi, berbasis pemodelan tsunami kepada pemerintah daerah, stakeholder, masyarakat, pelaku usaha pariwisata pantai, industri pantai dan infrastruktur kritis (pelabuhan dan bandara pantai).
Pelatihan-pelatihan ini dikemas dalam kegiatan Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami (SLG), BMKG Goes To School (BGTS) dan Pembentukan Masyarakat Siaga tsunami (Tsunami Ready Community).
“Harapan kami, semoga upaya kita dalam mitigasi bencana gempabumi dan tsunami dapat berhasil dengan dapat menekan sekecil mungkin risiko dampak bencana yang mungkin terjadi, bahkan hingga dapat menciptakan zero victim,” tutupnya.